standar.org | Seorang lelaki dengan rambut terjuntai dipundaknya, duduk dipinggir sungai, sesekali ia ketuk-ketukkan kakinya bak seorang penari, tapi sesekali gerahamnya menahan gemlethuk giginya. Sesekali cahaya matanya berbinar seperti bintang, sesekali matanya sayu tak menentu, seperti awan tebal yang tak mau menurunkan curah hujannya.
Bibirnya mulai mengering disapu angin, dan wajahnya Nampak pucat.
Kalimat itu sering kali terucapkan tanpa sadar, jikaa kalimat itu muncul dari bibirnya, lelaki itu segera mengembangkan air matanya yang menggenangi pelupuknya.
Sejak dua minggu lalu, lelaki tersebut berkenalan dengan seorang wanita, ketika ia sedang asik ”ma’syuk” dalam buaian ilahi. Wanita itu terlalu sempurna dalam pesona hatinya, karena ia pernah mengkhayalkan ”rabi’ah adawiyah” hadir dalam maya cintanya. Ia benar-benar bergetar ketika nama wanita itu disebut, lebih dari seluruh getaran syaraf-syaraf tubuhnya.
Tetapi ia tak pernah mengingkari, wanita itu sesekali dipaksa hadir dalam imajinya, dan berjuta-juta sya’ir keindahan dan kebebasan meluncur dari mutiara katanya, wallahu a’lam, ia sendiri hamper tidak mengenal dirinya dan tak mau memisahkan, mana sebenarnya cinta yang pernah diimpikan dilembah ilahi dulu, ketika ia mencintai Allah dengan segala jiwanya. Dan tiba-tiba syaraf-syaraf dalam rahasia bathinnya menguap, dalam wujud seorang wanita jelita.
Tiba-tiba seperti gumpalan-gumpalan awan putih yang bersalju, sebuah batas antara asmara dengan cinta kepada kekasih yang sejati sulit dipisahkan. Tetapi ia tidak bisa memungkiri jeritan hatinya, ketika wanita itu lepas dari bayangan-bayangan tentang keindahan yang murni.
Ruh dan sirr-nya terbenam dalam telaga ”kautsar cinta “, tetapi asmara nafsunya yang paling lembut telah menyentuh derajat makhluk dalam wujud kecintaannya pada wanita itu. Wanita yang pernah diimpikan berabad-abad seperti yang memanah hati hasan al-Bashri dulu pada rabi’ah.
”ya……… Allah, mengapa Engkau batasi surge dan neraka-Mu, melebihi rambut dibelah tujuh? Mengapa Engkau lemparkan aku dalam buaian yang menjauhkan diriku dengan diriMu? lalu kata-kata dan gerak hati apa lagi yang hendak Engkau diktekan dalam tulisan-tulisan kehidupanku?”
Lalu sesekali semua itu sirna, wajah mursyidnya tampak hadir tersenyum didepannya.
”titik yang kamu tuju tampak jelas dan dekat sekali, kenapa kamu raih kelelahan jiwa yang membebani punggungmu, dalam perjalanan impianmu yang jauh melebihi khayalanmu sendiri?”
Suara gurunya itu hilang bersama bayangannya. Lelaki itu terhenyak, pelan-pelan ia bangkit, pelan-pelan sekali, seperti harus mengurai rambut-rambut lembu yang mengikat hatinya.
Bibirnya mulai mengering disapu angin, dan wajahnya Nampak pucat.
” ya Allah , Astaghfirullahal ‘adhim !!
Kalimat itu sering kali terucapkan tanpa sadar, jikaa kalimat itu muncul dari bibirnya, lelaki itu segera mengembangkan air matanya yang menggenangi pelupuknya.
image from segiempat.com |
Sejak dua minggu lalu, lelaki tersebut berkenalan dengan seorang wanita, ketika ia sedang asik ”ma’syuk” dalam buaian ilahi. Wanita itu terlalu sempurna dalam pesona hatinya, karena ia pernah mengkhayalkan ”rabi’ah adawiyah” hadir dalam maya cintanya. Ia benar-benar bergetar ketika nama wanita itu disebut, lebih dari seluruh getaran syaraf-syaraf tubuhnya.
Tetapi ia tak pernah mengingkari, wanita itu sesekali dipaksa hadir dalam imajinya, dan berjuta-juta sya’ir keindahan dan kebebasan meluncur dari mutiara katanya, wallahu a’lam, ia sendiri hamper tidak mengenal dirinya dan tak mau memisahkan, mana sebenarnya cinta yang pernah diimpikan dilembah ilahi dulu, ketika ia mencintai Allah dengan segala jiwanya. Dan tiba-tiba syaraf-syaraf dalam rahasia bathinnya menguap, dalam wujud seorang wanita jelita.
Tiba-tiba seperti gumpalan-gumpalan awan putih yang bersalju, sebuah batas antara asmara dengan cinta kepada kekasih yang sejati sulit dipisahkan. Tetapi ia tidak bisa memungkiri jeritan hatinya, ketika wanita itu lepas dari bayangan-bayangan tentang keindahan yang murni.
Ruh dan sirr-nya terbenam dalam telaga ”kautsar cinta “, tetapi asmara nafsunya yang paling lembut telah menyentuh derajat makhluk dalam wujud kecintaannya pada wanita itu. Wanita yang pernah diimpikan berabad-abad seperti yang memanah hati hasan al-Bashri dulu pada rabi’ah.
”ya……… Allah, mengapa Engkau batasi surge dan neraka-Mu, melebihi rambut dibelah tujuh? Mengapa Engkau lemparkan aku dalam buaian yang menjauhkan diriku dengan diriMu? lalu kata-kata dan gerak hati apa lagi yang hendak Engkau diktekan dalam tulisan-tulisan kehidupanku?”
Lalu sesekali semua itu sirna, wajah mursyidnya tampak hadir tersenyum didepannya.
”titik yang kamu tuju tampak jelas dan dekat sekali, kenapa kamu raih kelelahan jiwa yang membebani punggungmu, dalam perjalanan impianmu yang jauh melebihi khayalanmu sendiri?”
Suara gurunya itu hilang bersama bayangannya. Lelaki itu terhenyak, pelan-pelan ia bangkit, pelan-pelan sekali, seperti harus mengurai rambut-rambut lembu yang mengikat hatinya.
Post a Comment for "Batas Antara Asmara dan Cinta"